PEKANBARU – Ruang sidang Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Selasa (12/8/2025), mendadak menjadi pusat perhatian. Tiga terdakwa kasus dugaan korupsi miliaran rupiah, termasuk mantan Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa, hadir dengan penampilan yang mencuri sorotan. Dia mengenakan kemeja putih lengan panjang. Panduan warna senada juga dikenakan dua mantan bawahannya, Indra Pomi Nasution (eks Sekda) dan Novin Karmila (eks Plt Kabag Umum Setda).
Ketiganya duduk berjejer di hadapan majelis hakim yang dipimpin Delta Tamtama. Risnandar di kiri, Indra di tengah, Novin di kanan. Wajah mereka tampak tegang, sesekali Risnandar menggeleng pelan saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Meyer Volmar Simanjuntak membacakan surat tuntutan.
Pembacaan tuntutan masih berlangsung siang itu. Namun dari dakwaan sebelumnya, kasus ini bukan perkara kecil. Nilai dugaan korupsi bahkan mencapai Rp8,9 miliar lebih, melibatkan skema pemotongan dana persediaan pemerintah kota, yang dilakukan berulang kali.
Skema Korupsi dari GU-TU Hingga Rumah Dinas Wali Kota
Menurut JPU KPK, praktik lancung itu terjadi Mei–Desember 2024. Saat itu, Bagian Umum Setda Pekanbaru mencairkan Ganti Uang Persediaan (GU) sebesar Rp26,54 miliar dan Tambahan Uang Persediaan (TU) Rp11,24 miliar, total lebih dari Rp37,79 miliar.
Modusnya sistematis. Setiap akan ada pencairan, Novin melapor ke Risnandar. Sang Pj Wali Kota lalu menginstruksikan Indra Pomi untuk menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM) dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Bahkan, ada permintaan khusus kepada pejabat BPKAD untuk memprioritaskan pencairan dana Setda yang disinyalir sebagian dana itu sudah “direservasi” untuk kantong pribadi.
Setelah cair, bendahara pembantu diminta memotong sebagian dana, menyerahkannya ke Novin, lalu didistribusikan. Diungkapkan, dana tersebut mengarah ke Risnandar, Indra, ajudan pribadi Nugroho Adi Triputranto alias Untung, dan Novin sendiri.
Rincian Penerimaan: Uang Tunai, Transfer, hingga Jahit Baju Istri
Dalam dakwaan, jaksa membeberkan detail yang mengejutkan.
- Risnandar Mahiwa menerima total Rp2,9 miliar lebih, sebagian besar tunai di Rumah Dinas Wali Kota. Ada pula transfer Rp158,49 juta untuk menjahit baju istrinya, yang ternyata bersumber dari dana GU dan TU.
- Indra Pomi Nasution kantongnya terisi Rp2,4 miliar lebih, termasuk Rp1 miliar tunai yang diserahkan langsung di rumah dinas pada November 2024.
- Novin Karmila mengantongi Rp2 miliar lebih, dengan porsi terbesar Rp1,25 miliar pada November 2024.
- Nugroho “Untung” sang ajudan, kebagian Rp1,6 miliar lebih.
Aliran uang haram ini terjadi berulang kali, berpindah tangan di kantor Setda, rumah dinas, hingga melalui rekening bank. Polanya terstruktur, terencana, dan dijalankan dalam koordinasi rapi.
Gestur di Ruang Sidang
Di ruang sidang, sorot mata publik tak lepas dari gestur ketiga terdakwa. Risnandar kerap menunduk, menggenggam tangan, lalu menggeleng saat jaksa menyebut nominal uang yang diterimanya. Indra Pomi duduk tegak, namun beberapa kali menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. Novin terlihat mencatat di secarik kertas, entah apa isinya.
Pihak KPK belum membacakan vonis, namun jika mengikuti tuntutan serupa pada kasus sejenis, ancaman hukuman yang dihadapi bisa mencapai belasan tahun penjara.
Kasus ini kembali mengingatkan publik bahwa korupsi di tingkat daerah bukan hanya soal “uang makan” atau dana kecil, tapi menyasar anggaran vital yang seharusnya digunakan untuk pelayanan publik. GU dan TU, yang mestinya memperlancar operasional pemerintahan, justru jadi sumber bancakan segelintir pejabat.
Bagi warga Pekanbaru, sidang ini bukan hanya tentang menghukum pelaku, tapi juga soal memulihkan kepercayaan pada pemerintah kota. “Kita ingin ada efek jera. Jangan sampai dana rakyat dikorupsi lagi,” ujar seorang pengunjung sidang yang enggan disebut namanya. (woke2)