SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Obat Lawas Ini Mungkin Jadi Kunci Lindungi Otak dari Alzheimer, Kata Peneliti Harvard

M. Faheem Eshaq - Senior Editor Wartaoke.net
Oleh M. Faheem Eshaq - Senior Editor
7 Menit Membaca
Sebuah studi terbaru pada tikus menunjukkan kemungkinan Lithium memiliki peran penting bagi otak manusia.Foto: Pexel

Wartaoke.net – Sebuah temuan besar yang memakan waktu hampir sepuluh tahun mengungkap kemungkinan cara baru melindungi otak dari penyakit Alzheimer dan penuaan. Kuncinya? Bukan obat baru mahal, melainkan logam sederhana yang sudah dikenal sejak lama: lithium.

Lithium selama ini identik dengan pengobatan gangguan suasana hati seperti bipolar dan depresi. Obat ini pertama kali disetujui Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) pada 1970, meski penggunaannya oleh dokter sudah dimulai jauh sebelumnya. Kini, penelitian baru dari Harvard Medical School dan Rush University menunjukkan bahwa lithium ternyata secara alami ada di tubuh manusia dalam jumlah sangat kecil — mirip seperti vitamin C atau zat besi — dan dibutuhkan sel untuk berfungsi normal.

Bahkan, hasil riset ini menegaskan peran penting lithium dalam menjaga kesehatan otak, termasuk potensi mencegah atau memperlambat Alzheimer.

Peran Lithium yang Tak Disangka

Dalam serangkaian eksperimen yang dipublikasikan di jurnal bergengsi Nature, para peneliti menemukan bahwa mengurangi asupan lithium dalam makanan tikus sehat menyebabkan otak mereka mengalami peradangan dan tanda-tanda penuaan lebih cepat.

Pada tikus yang sengaja dikembangkan untuk meniru kerusakan otak khas Alzheimer, diet rendah lithium mempercepat penumpukan protein lengket yang membentuk plak dan jalinan di otak — ciri utama penyakit ini. Hasilnya, penurunan daya ingat terjadi lebih cepat.

Namun sebaliknya, menjaga kadar lithium tetap normal justru melindungi otak tikus dari perubahan terkait Alzheimer.

Jika temuan ini terbukti pada manusia, dunia kedokteran bisa punya jalan baru untuk mengembangkan terapi dan alat diagnosis Alzheimer, penyakit yang saat ini memengaruhi sekitar 6,7 juta lansia di Amerika Serikat menurut CDC.

Penelitian Alzheimer Terus Berlanjut

Selama puluhan tahun, ilmuwan mencoba memahami misteri Alzheimer. Penelitian ini menawarkan “teori pemersatu” yang menghubungkan berbagai gejala dan penyebab yang sebelumnya tampak terpisah.

“Ini kandidat mekanisme umum yang memicu kerusakan multisistem di otak sebelum demensia,” kata Dr. Bruce Yankner, profesor genetika Harvard Medical School yang memimpin studi tersebut. Ia menegaskan bahwa masih diperlukan banyak riset lanjutan untuk memastikan apakah ini jalur utama atau hanya salah satu dari beberapa jalur menuju Alzheimer.

Dr. Ashley Bush, ahli saraf dari University of Melbourne yang menulis editorial di Nature, menyebut bukti dari penelitian ini “meyakinkan” dan menunjukkan bahwa penuaan normal mungkin mengganggu regulasi lithium di otak.

Bagaimana Lithium Bekerja di Otak?

Penelitian mendalam pada jaringan otak manusia dan hewan, serta analisis genetik, menemukan mekanisme yang mengejutkan. Plak beta amiloid — endapan yang menyumbat otak penderita Alzheimer — ternyata mengikat lithium, baik yang alami maupun dari obat. Ikatan ini menguras lithium yang tersedia untuk sel-sel sekitar, termasuk mikroglia, “petugas kebersihan” otak yang bertugas membersihkan plak.

Saat kadar lithium turun, kemampuan mikroglia membersihkan plak melemah, sehingga beta amiloid makin menumpuk dan memperburuk kerusakan otak.

Menariknya, tim menemukan satu bentuk lithium — lithium orotate — yang tidak terikat oleh plak. Ketika diberikan pada tikus yang sudah menunjukkan tanda Alzheimer, hasilnya luar biasa: plak dan jalinan protein berkurang, fungsi memori membaik, dan tikus mampu lagi menyelesaikan tes labirin.

Jangan Coba Sendiri di Rumah

Lithium adalah logam alami yang banyak ditemukan dan digunakan dalam industri energi dan pembuatan baterai.
Lithium adalah logam alami yang banyak ditemukan dan digunakan dalam industri energi dan pembuatan baterai. (Foto: Unsplash)

Lithium adalah logam alami yang terdapat di air, makanan, bahkan beberapa sumber air mineral dan mata air panas. Dahulu, minuman soda 7Up bahkan pernah mengandung lithium dan dipasarkan sebagai penghilang mabuk.

Meski terdengar menjanjikan, para ahli memperingatkan agar tidak mencoba mengonsumsi lithium sendiri. Dalam dosis tinggi seperti untuk terapi bipolar, lithium bisa berbahaya, terutama bagi lansia, karena mudah menyebabkan overdosis dan kerusakan ginjal.

Dr. Kostas Lyketsos dari Johns Hopkins Medicine mengingatkan, “Mungkin di masa depan ada peran lithium dosis sangat rendah untuk menggantikan yang hilang. Tapi membuktikannya akan butuh penelitian panjang.”

Dalam studi ini, dosis yang diberikan ke tikus sekitar 1.000 kali lebih rendah dibanding pengobatan bipolar, dan tidak menunjukkan tanda kerusakan. Namun, penelitian pada manusia masih harus dilakukan untuk menentukan keamanan dan dosis idealnya.

Penelitian Lanjutan Tunjukkan Indikasi Serupa

Temuan ini sejalan dengan studi besar sebelumnya. Penelitian di Denmark (2017) menemukan bahwa orang yang air minumnya mengandung lithium alami lebih jarang terkena demensia. Studi di Inggris (2022) juga menunjukkan pasien yang menggunakan lithium punya risiko setengah kali lebih rendah terkena Alzheimer dibanding kelompok kontrol.

Masalahnya, lithium selama ini dianggap “obat psikiatri” sehingga perannya dalam fungsi tubuh normal nyaris tak pernah diteliti. Baru dengan teknologi terbaru, kadar lithium alami di tubuh bisa diukur secara akurat.

Yankner dan timnya menemukan bahwa penderita Alzheimer memiliki kadar lithium jauh lebih rendah di otaknya dibanding orang sehat. Hasil ini konsisten di berbagai bank otak, termasuk di Harvard, Duke, dan Washington University.

Sumber Lithium Alami

Sumber utama lithium bagi manusia adalah makanan. Sayuran hijau, kacang-kacangan, biji-bijian, serta beberapa rempah seperti kunyit dan jinten mengandung lithium dalam kadar alami. Air mineral tertentu juga bisa menjadi sumbernya.

Yankner menduga, sebagian makanan yang selama ini dikenal menyehatkan otak mungkin bermanfaat sebagian karena kandungan lithiumnya.

Meski hasil ini membuat banyak ilmuwan optimistis, semua pihak sepakat bahwa penelitian pada manusia adalah langkah krusial berikutnya. Tantangannya termasuk menentukan dosis yang aman, memantau efek samping jangka panjang, dan membuktikan manfaatnya di populasi besar.

National Institutes of Health (NIH) menjadi pendonor utama studi ini, bersama beberapa yayasan swasta. Yankner menegaskan ia dan rekan-rekannya tidak memiliki kepentingan finansial dalam hasil riset ini.

“Dukungan NIH sangat penting bagi penelitian ini,” ujarnya.

Jika riset lanjutan berhasil, kita mungkin akan melihat lahirnya terapi Alzheimer berbasis mineral alami yang selama ini ada di dapur kita. Hingga saat itu tiba, ilmuwan berpesan agar setiap orang, terutama penderita Alzheimer terus menikmati makanan sehat kaya sayuran, biji-bijian, dan rempah — bukan suplemen lithium sembarangan. (woke1)

Bagikan Berita Ini
Tidak ada komentar