PELALAWAN – Di tengah program besar-besaran penertiban kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), satu realitas yang tak boleh luput dari perhatian adalah nasib 1.487 anak usia sekolah yang selama ini mengakses pendidikan di dalam kawasan hutan tersebut. Mereka adalah generasi yang lahir dan tumbuh di tengah konflik antara konservasi dan pemukiman, dan kini terancam kehilangan ruang belajar.
Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Kabupaten Pelalawan, Erik Suhenra, menyebutkan bahwa kondisi ini memerlukan solusi kebijakan yang bijak dan berperspektif anak. Ia mengingatkan bahwa agenda penyelamatan lingkungan tidak boleh mengorbankan masa depan pendidikan.
“Ada namanya wajib belajar 9 tahun. Artinya, negara punya kewajiban memastikan setiap anak bisa sekolah. Kalau sekolahnya digusur dan anaknya harus pindah, pemerintah harus pastikan mereka tetap bisa mengakses pendidikan,” ujar Erik, Jumat (11/7/2025).
Bagaimana Nasib Anak-anak di Zona Abu-abu?
Selama bertahun-tahun, kawasan TNTN bukan hanya menjadi lokasi aktivitas pertanian dan permukiman ilegal, tapi juga menjadi tempat berdirinya sejumlah fasilitas pendidikan informal dan formal. Puluhan sekolah dasar hingga menengah dibangun atas inisiatif masyarakat, meski tak sedikit yang berada dalam status lahan tanpa legalitas.
Kini, dengan dimulainya program relokasi dan reforestasi, sekolah-sekolah itu berpotensi hilang—menyisakan pertanyaan besar: ke mana anak-anak itu harus pergi?
“Tempat mereka menuntut ilmu akan tidak ada lagi. Semuanya kembali menjadi hutan,” ujar Erik. “Itu baik untuk lingkungan, tapi jangan sampai meninggalkan luka sosial.”
Komitmen Penertiban vs Kewajiban Negara
Komnas PA tidak menampik bahwa langkah Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) dalam memulihkan TNTN adalah upaya penting dan mendesak. Namun, Erik menegaskan bahwa semangat konservasi harus berjalan beriringan dengan perlindungan hak anak.
“Kami mendukung penuh upaya Satgas PKH menyelamatkan Tesso Nilo. Tapi negara juga harus hadir secara konkret untuk menjamin pendidikan anak-anak ini tidak terputus.”
Erik menggarisbawahi pentingnya kehadiran aktif Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Pelalawan dalam merancang jalur pendidikan alternatif—termasuk kemungkinan penambahan ruang kelas di desa relokasi, pendirian sekolah transisi, atau dukungan pendidikan berbasis komunitas.
“Anak-anak ini bukan pelanggar hukum. Mereka lahir dan tumbuh mengikuti kondisi orang tua. Maka, negara tidak boleh melepas tanggung jawab,” tambah Erik.
Relokasi Bukan Akhir Jalan
Hingga kini, belum ada kejelasan menyeluruh terkait skema relokasi pendidikan bagi ribuan siswa tersebut. Pemerintah Kabupaten Pelalawan memang telah menunjukkan itikad baik melalui keterlibatan Tim Percepatan Pemulihan TNTN, namun belum ada kepastian mekanisme transisi sekolah.
Komnas PA meminta, jika relokasi dijalankan, maka seluruh siswa harus mendapat jaminan tempat di sekolah-sekolah baru, tanpa diskriminasi dan tanpa hambatan administratif.
“Yang penting, jika anak-anak ini ikut orang tuanya pindah, mereka harus bisa langsung diterima di sekolah tujuan. Jangan ada anak yang tertinggal,” pungkas Erik. (woke1)