PEKANBARU — Rencana konser grup musik asal Inggris, Honne, yang dijadwalkan tampil di Kota Pekanbaru pada 10 Agustus 2025, mendapat penolakan keras dari sebagian masyarakat Riau. Isu keterkaitan personel Honne dengan komunitas LGBT memicu protes dari kalangan tokoh agama hingga jemaah masjid, yang menilai kehadiran duo musisi ini sebagai bentuk kemungkaran yang tak pantas disambut di Bumi Melayu.
Penolakan ini salah satunya datang dari jemaah Masjid Jamiatuzahiddin yang berlokasi di Jalan Hangtuah, Pekanbaru. Pada Rabu pagi (23/7/2025), puluhan jemaah dan belasan ustaz menggelar orasi terbuka di depan masjid usai salat Subuh berjamaah. Mereka menyampaikan keberatan secara lantang atas rencana konser yang disebut-sebut menghadirkan musisi yang dianggap mendukung gaya hidup menyimpang.
“Kami masyarakat Riau, khususnya jemaah Masjid Jamiatuzahiddin, menolak kedatangan artis LGBT ke tanah Melayu ini. Karena itu bagian dari kemungkaran yang bisa mengundang murka Allah,” ujar Ustaz M. Ridwan, salah satu tokoh agama yang memimpin orasi.
Dai Mendorong Penolakan
Dalam orasinya, Ustaz Ridwan menekankan bahwa umat Islam memiliki tanggung jawab moral untuk menyuarakan penolakan terhadap segala bentuk kebatilan. Ia mengutip salah satu hadis Nabi yang menyebut bahwa kemungkaran harus dicegah dengan tangan, lidah, atau setidaknya dalam hati.
“Kami bukan pejabat, kami tak punya kekuasaan. Tapi kata Nabi, kalau tak bisa mencegah dengan tangan, cegahlah dengan suara. Dan kami punya suara, kami akan sampaikan kebenaran ini,” tambahnya di hadapan massa yang terus bertambah.
Aksi damai ini berlangsung tertib dan tidak melibatkan tindakan anarkis. Para jemaah membentangkan spanduk berisi seruan moral dan permohonan agar pemerintah daerah serta penyelenggara acara mempertimbangkan kembali keputusan menghadirkan artis yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai lokal dan agama.
LGBT Tidak Cocok dengan Melayu

Nada yang lebih tajam disampaikan oleh Azuardi, Ketua Masjid Jamiatuzahiddin. Ia secara terbuka mengecam keberadaan komunitas LGBT di Pekanbaru dan mengaitkannya dengan risiko turunnya azab dari Allah SWT.
“Kita ini negeri Melayu, negeri beradat dan beragama. Jangan sampai Allah murka kepada kita karena membiarkan kemaksiatan masuk ke negeri ini,” tegasnya.
“Kami tidak ingin Pekanbaru mengalami apa yang terjadi pada kaum Nabi Luth. LGBT adalah dosa besar yang mengundang bala dan laknatullah, dan konser ini bisa jadi bentuk legalisasi terhadap gaya hidup itu,” tambahnya.
Desakan Pembatalan Meningkat
Penolakan terhadap konser Honne juga meluas ke media sosial. Sejumlah akun menyuarakan keberatan. Tak sedikit warganet yang meminta Pemko Pekanbaru dan pihak penyelenggara agar membatalkan konser demi menjaga ketenangan sosial dan nilai-nilai lokal.
Isu LGBT sendiri memang sensitif di tengah masyarakat Melayu yang menjunjung tinggi adat istiadat berbasis agama Islam. Banyak pihak melihat konser ini tidak sekadar soal hiburan, tetapi juga sebagai simbol masuknya budaya luar yang dinilai bertentangan dengan norma lokal.
Belum Ada Tanggapan Resmi dari EO atau Pemda
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak Event Organizer (EO) penyelenggara konser maupun dari Pemko Pekanbaru. Namun tekanan publik diperkirakan akan terus meningkat jika tak segera ada kejelasan sikap dari pemerintah.
Sejumlah pihak menyarankan agar Pemko segera menggelar dialog terbuka antara penyelenggara konser, tokoh agama, dan tokoh adat guna mencegah eskalasi konflik di tengah masyarakat.
“Ini bukan soal benci terhadap musik, tapi soal kehati-hatian dalam menerima pengaruh asing yang tidak sesuai dengan nilai lokal,” kata seorang tokoh adat Melayu Riau yang juga ikut mengomentari isu ini.
Riau bukan daerah asing bagi konser musik internasional. Namun, konser dengan konten atau figur yang beririsan dengan isu LGBT kerap menjadi sumber polemik, terutama jika tidak disosialisasikan atau dikurasi dengan mempertimbangkan nilai budaya setempat.
Kasus Honne ini menjadi cermin baru tentang betapa sensitifnya ruang publik di Riau terhadap isu moralitas, dan bagaimana pentingnya penyelenggara acara mempertimbangkan tidak hanya aspek ekonomi dan hiburan, tetapi juga reaksi sosial dan keagamaan. (woke2)