SIAK – Ketegangan belum sepenuhnya sirna dari Kampung Tumang, Kecamatan Siak, Riau, usai insiden pembakaran fasilitas milik PT Seraya Sumber Lestari (SSL). Sebanyak 13 warga kini ditahan di Polda Riau atas tuduhan pengrusakan dan pembakaran dalam aksi unjuk rasa yang terjadi bulan lalu. Di antara mereka terdapat Kepala Desa dan Kepala Dusun Tumang—tokoh lokal yang sebelumnya dikenal sebagai jembatan antara warga dan perusahaan.
Penangkapan para pemuka kampung itu menuai tanya, terutama karena sehari sebelum kerusuhan terjadi, telah digelar rapat mediasi yang juga dihadiri oleh seorang anggota DPRD Siak. Namun, nama legislator tersebut tidak masuk dalam daftar tersangka.
“Jangan tebang pilih,” tegas Anggi Ramadan, aktivis sosial dari Pekanbaru, Minggu (13/7/2025). Ia menyatakan ketimpangan penegakan hukum ini berpotensi memicu ketegangan baru.
“Warga kecil bisa ditahan, sementara pejabat dibiarkan. Hal ini bisa jadi bara baru di kemudian hari.”
Anggi Ramadan, aktivis sosial
Patroli Malam Berlanjut
Malam hari, aparat kepolisian bersenjata ringan terus berjaga. Polsek Siak melaksanakan patroli rutin menyusuri jalur masuk PT SSL, pos keamanan, hingga perbatasan kampung.
“Kami hadir untuk mencegah timbulnya aksi lanjutan dan memberikan jaminan keamanan,” kata Kapolsek Siak, Kompol James Sibarani.
Kapolres Siak, AKBP Eka Ariandy Putra menegaskan, langkah tersebut sebagai bentuk komitmen menjaga stabilitas pasca konflik horizontal.
“Ini bentuk respon cepat untuk memastikan keadaan tetap kondusif,” ujarnya.
Namun kehadiran aparat belum mampu menghapus kecemasan yang diam-diam mengendap di benak warga. Bagi sebagian besar masyarakat Tumang, konflik dengan PT SSL bukan perkara baru—ini tentang luka agraria yang tak pernah benar-benar diobati.
Dari Lahan, Tenaga Kerja, hingga Aspirasi yang Tak Didengar Menjadi Akar Konflik
Selama bertahun-tahun, warga menuduh PT SSL menutup telinga terhadap tuntutan mereka, mulai dari transparansi pengelolaan lahan, kebijakan ketenagakerjaan, hingga komunikasi yang nyaris tak terbuka.
“Warga bukan mau bakar. Mereka cuma kecewa. Tapi rasa kecewa yang dibiarkan tanpa saluran, ya jadi amarah,” ujar seorang warga Tumang yang enggan disebutkan namanya.
Kini, meskipun suasana tampak tenang, situasi sebenarnya masih jauh dari selesai. Tokoh adat dan pemuda tengah menyusun agenda dialog, berharap aparat hukum tidak berhenti di penangkapan semata.
Luka Sosial dan Tanda Tanya atas Keadilan
Tumang mungkin sudah kembali senyap, tetapi luka sosial yang ditinggalkan masih terasa dalam. Pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya bertanggung jawab, dan apakah hukum ditegakkan secara adil, masih menggantung.
Selama akar persoalan belum disentuh, dan ruang mediasi tak dibuka secara inklusif, ketenangan ini hanyalah jeda—bukan penyelesaian. (woke1)