PELALAWAN – Di tengah deru pembalakan dan ekspansi sawit yang selama bertahun-tahun melukai bentang alam Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), secercah harapan mulai tumbuh. Di Desa Air Hitam, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, warga perlahan mulai mengembalikan lahan-lahan yang sebelumnya mereka kelola secara ilegal kepada negara.
Langkah ini bukan datang dari tekanan aparat, melainkan dari kesadaran perlahan yang tumbuh di akar rumput.
Salah satu warga, Yunifah Zega, menceritakan bagaimana dirinya membeli lahan sawit di kawasan TNTN sejak 2007 seharga Rp15 juta per hektare. Transaksi itu kala itu tampak sah—berlangsung atas izin tokoh adat dan dalam naungan kelompok tani Bina Marga.
Namun kini, setelah puluhan tahun menyadari kerusakan lingkungan dan ancaman konflik hukum, ia memilih menyerahkan lahan tersebut secara sukarela kepada Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH).
“Kami ingin anak cucu masih bisa melihat hutan dan gajah di sini.”
Yunifah Zega
Pemusnahan Sawit dan Reforestasi
Upaya pemulihan tak hanya berhenti pada serah terima. Sejak awal pekan ini, tim gabungan Satgas PKH bersama pemerintah desa telah memulai pemusnahan tanaman sawit muda—khususnya yang berusia di bawah lima tahun—di atas lahan seluas sekitar 30 hektare.
Proses ini menandai dimulainya tahap kedua reforestasi Tesso Nilo, salah satu bentang hutan tropis tersisa di Sumatera yang dikenal sebagai habitat gajah liar dan kawasan penyimpan karbon penting dunia.
“Kami apresiasi langkah warga. Ini gerakan dari hati, bukan paksaan,” ujar Tansi Sitorus, Kepala Desa Air Hitam. Ia menambahkan bahwa kesadaran serupa juga muncul di wilayah Pos 4 Gambangan, dengan tambahan 14 hektare lahan siap diserahkan.
Pendekatan Adat dan Budaya
Tak hanya pemerintah desa, suara dukungan juga datang dari pemangku adat. Datuk Engku Raja Lela Putra Wan Ahmat, tokoh adat Pelalawan, menyebut bahwa pendekatan restoratif harus tetap memegang nilai budaya dan keadilan historis.
“Jangan sampai masyarakat adat justru tergusur oleh program relokasi. Mereka sudah tinggal di sana sejak abad ke-16. Kehidupan mereka menyatu dengan hutan,” tegasnya.
Desa seperti Air Hitam, Lubuk Kembang Bunga, Segati, dan Gondai disebutnya sebagai wilayah tradisional yang harus diperlakukan dengan sensitivitas tinggi.
Relokasi Disiapkan, Tapi Perlu Verifikasi Adil
Langkah warga disambut oleh pemerintah pusat. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni sebelumnya menyampaikan bahwa pemerintah akan menyiapkan lahan relokasi dan bantuan sosial bagi warga terdampak.
Proses ini kini sedang digodok oleh Tim Percepatan Pemulihan Pasca Penguasaan (TP4) TNTN yang dibentuk Gubernur Riau. Skema verifikasi dan relokasi sedang disusun agar adil dan inklusif—membedakan antara warga adat yang memang tinggal turun-temurun, dan pendatang yang masuk belakangan.
Sementara itu, Kepala Desa Lubuk Kembang Bunga, Rusi Chairus Slamet, meminta agar warga tidak merusak fasilitas yang telah dipasang Satgas, termasuk plang dan portal pembatas kawasan hutan.
Harapan Baru dari Tengah Hutan
Langkah-langkah kecil ini mungkin belum bisa memulihkan seluruh 83.000 hektare kawasan TNTN yang telah rusak, namun ia menyemai optimisme baru—bahwa upaya penyelamatan lingkungan tak harus selalu berujung konflik, dan bahwa kesadaran warga bisa menjadi awal dari rekonsiliasi ekologis.
Karena pada akhirnya, menyelamatkan Tesso Nilo bukan hanya urusan pohon dan satwa, tapi tentang masa depan bersama: antara manusia, hutan, dan generasi mendatang. (woke6)