Wartaoke.net – Seorang pria berusia 60 tahun di Amerika Serikat mengalami keracunan langka yang disebut bromism setelah mengikuti saran diet dari ChatGPT. Kasus ini kini menjadi perhatian dunia medis dan memunculkan peringatan terkait penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk konsultasi kesehatan tanpa pendampingan profesional.
Peristiwa ini dilaporkan dalam jurnal Annals of Internal Medicine Clinical Cases pada Selasa (5/8/2025). Dalam laporan tersebut, pria tersebut awalnya mencari cara untuk mengurangi konsumsi natrium klorida (garam dapur) karena khawatir terhadap efek negatifnya pada kesehatan. Namun, alih-alih mendapatkan saran yang aman, ia justru mendapatkan informasi yang membuatnya mengganti seluruh asupan garamnya dengan natrium bromida, senyawa kimia yang berpotensi berbahaya jika dikonsumsi dalam jangka panjang.
Berdasarkan keterangan dokter, pria ini sempat mengajukan pertanyaan kepada ChatGPT terkait pengganti klorida. Menurut penuturannya, AI merekomendasikan bromida sebagai pengganti. Saran ini mungkin relevan dalam konteks pembersihan atau industri, namun sama sekali tidak aman untuk konsumsi.
Terinspirasi oleh latar belakang pendidikannya di bidang gizi, ia memutuskan untuk menjalankan “eksperimen pribadi” selama tiga bulan dengan mengganti semua garam di makanannya menjadi natrium bromida yang dibeli secara online.
Gejala Awal dan Pengobatan

Tiga bulan kemudian, ia mendatangi instalasi gawat darurat dengan keluhan gejala psikiatris yang serius: paranoia, halusinasi, insomnia, kelelahan, masalah koordinasi otot, hingga rasa haus berlebihan.
Tes laboratorium awal menunjukkan kadar klorida yang tampak tinggi, namun dokter menemukan bahwa hasil ini palsu (pseudohyperchloremia) karena kadar bromida yang tinggi mengganggu alat pengukur. Konsultasi dengan Poison Control dan telaah literatur medis akhirnya mengarah pada diagnosis bromism, yakni keracunan akibat akumulasi bromida di tubuh.
Pada masa ini, bromism adalah kondisi kesehatan yang sangat langka. Namun sejarah mencatat, kasus serupa sepat marak terjadi di masa lalu. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, bromida pernah digunakan luas sebagai bahan obat penenang, antikejang, dan obat tidur. Namun, sejak 1970–1980-an, regulator AS melarang penggunaan natrium bromida dalam obat bebas karena efek toksiknya pada sistem saraf.
Gejala bromism dapat meliputi psikosis, agitasi, delusi, gangguan memori, gangguan berpikir, hingga masalah koordinasi otot. Paparan jangka panjang membuat senyawa ini menumpuk dan mengganggu fungsi neuron.
Selama dirawat, pasien mendapatkan terapi cairan dan pemantauan elektrolit intensif. Paranoia yang dialami membuatnya menolak air yang diberikan, bahkan sempat mencoba kabur dari rumah sakit. Ia sempat berada dalam perawatan psikiatri paksa dan mendapat obat antipsikotik.
Setelah kondisinya membaik dan kadar bromida berangsur turun, ia berhasil lepas dari obat antipsikotik dalam waktu tiga minggu. Dua minggu pasca-pulang dari rumah sakit, kondisinya stabil.
Hati-hati Gunakan AI di Bidang Kesehatan
Pihak OpenAI menanggapi laporan ini dengan menegaskan bahwa layanan mereka tidak dimaksudkan untuk diagnosis atau pengobatan medis, dan pengguna diimbau mencari saran dari profesional kesehatan.
Para penulis laporan juga menegaskan, meskipun AI berpotensi menjadi jembatan informasi antara ilmuwan dan masyarakat, risiko informasi yang keluar dari konteks tetap tinggi. Mereka menilai sangat kecil kemungkinan seorang ahli medis akan merekomendasikan natrium bromida untuk menggantikan natrium klorida dalam diet. (woke1)