SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bendera Bajak Laut One Piece Berkibar Jelang HUT ke-80 RI, Apa Maknanya?

Oleh Ferdi Putra - Reporter
4 Menit Membaca
Bendera Jolly Roger dari serial One Piece banyak dikibarkan menjalang perayaan HUT RI ke-80

PEKANBARU – Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, publik diramaikan oleh kemunculan bendera bajak laut dari serial One Piece yang berkibar di berbagai tempat di Tanah Air. Fenomena ini menuai perhatian luas di media sosial.

Bendera berlatar hitam dengan gambar tengkorak tersenyum memakai topi jerami—simbol dari kelompok Bajak Laut Topi Jerami yang dipimpin Luffy dalam kisah One Piece—terlihat dikibarkan di rumah-rumah warga, kendaraan, hingga di tepi jalan.

Bukan Sekadar Simbol Hiburan

Di dunia One Piece, bendera ini dikenal sebagai Jolly Roger, lambang khas para bajak laut. Namun bagi penggemar setia serial karya Eiichiro Oda ini, simbol tersebut mewakili nilai-nilai kebebasan, mimpi besar, dan perjuangan melawan kekuasaan yang sewenang-wenang.

Topi jerami yang dikenakan tengkorak dalam bendera itu sendiri merupakan warisan dari Shanks, tokoh penting dalam kisah tersebut, kepada Luffy—sebuah simbol tekad kuat dan cita-cita besar menjadi Raja Bajak Laut.

Tak sedikit yang menafsirkan pengibaran bendera ini sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan atau sindiran terhadap kondisi sosial-politik di Indonesia saat ini. Sejumlah netizen menyebutnya sebagai “bentuk protes budaya populer”.

Kontras dengan Simbol Negara

Meskipun dikibarkan di bawah bendera Merah Putih, kehadiran bendera Jolly Roger menimbulkan perdebatan. Ada yang menganggapnya sebagai bentuk kreativitas generasi muda, namun tak sedikit pula yang menyayangkan karena dinilai tidak menghormati simbol negara.

Pakar hukum dan pemerintah mengingatkan bahwa pengibaran bendera lain selain Merah Putih, terutama dalam konteks perayaan kenegaraan, memiliki regulasi yang ketat. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 melarang pengibaran bendera negara di bawah lambang apa pun. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dapat dikenai pidana hingga lima tahun atau denda maksimal Rp500 juta.

Reaksi dari Pejabat dan Tokoh Politik

Anggota DPR RI dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo, menganggap tren ini sebagai alarm bagi pendidikan kebangsaan yang mulai merosot. “Generasi muda kini banyak yang tidak memahami arti penting dari bendera Merah Putih dan nilai-nilai Pancasila,” kata Firman, Rabu (31/7).

Ia mendesak pemerintah memperkuat pendidikan ideologi di sekolah sejak dini, serta mewaspadai kemungkinan adanya pihak-pihak yang memanfaatkan tren budaya populer untuk menyusupkan agenda tersembunyi.

Namun tak semua suara bersifat kritis. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, justru meminta masyarakat untuk melihat fenomena ini dengan kepala dingin. Menurutnya, tidak semua pengibaran bendera One Piece mengandung niat buruk.

“Jangan dibenturkan antara fans One Piece dan simbol negara. Ini bisa jadi refleksi budaya saja, bukan makar,” ujarnya (1/8). Dasco menekankan pentingnya edukasi publik tanpa menyudutkan komunitas pecinta anime.

Peringatan dari Pemerintah

Menko Polhukam, Jenderal (Purn) Budi Gunawan, menegaskan bahwa tindakan mengibarkan simbol non-negara, apalagi dalam momen kenegaraan, harus tetap mengindahkan aturan hukum yang berlaku.

“Ini soal menjaga kehormatan simbol negara. Jika ditemukan unsur kesengajaan dan provokasi, tentu akan ada tindakan hukum yang tegas,” kata Budi Gunawan, Kamis (1/8).

Ia juga menyoroti pentingnya menjadikan perayaan HUT ke-80 RI sebagai refleksi atas perjuangan bangsa. “Jangan justru dikotori dengan simbol-simbol fiksi yang tidak sejalan dengan semangat kemerdekaan,” tegasnya.

Fenomena Budaya atau Pelanggaran?

Hingga saat ini, belum ada tindakan hukum yang mencolok terkait pengibaran bendera One Piece. Namun perdebatan di ruang publik terus bergulir—antara yang menganggap ini bentuk kebebasan berekspresi, dan yang melihatnya sebagai pengaburan makna nasionalisme.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana budaya pop seperti anime bisa menembus ruang sosial dan politik Indonesia, bahkan hingga ke momentum sakral kenegaraan. Pertanyaannya: sejauh mana batas ekspresi itu boleh melangkah? (woke6)

Bagikan Berita Ini
Tidak ada komentar