SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

212 Merek Beras Oplosan Terungkap: Saatnya Pemerintah Akui Sistem Rusak?

M. Faheem Eshaq - Senior Editor Wartaoke.net
Oleh M. Faheem Eshaq - Senior Editor
4 Menit Membaca
MARAK BERAS OPLOSAN - Pengamat mendorong pemerintah mendorong perbaikan sistem dalam menetapkan harga beras dan meningkatkan pengawasan untuk mencegah beredarnya beras oplosan. | Ilustrasi

PEKANBARU — Fakta mengejutkan kembali mencuat dari dunia pangan nasional. Sebanyak 212 merek beras dari kategori medium dan premium diduga oplosan, tersebar di 10 provinsi di Indonesia. Publik pun bertanya-tanya, siapa yang harus bertanggung jawab atas kerusakan sistem pangan ini?

Skandal ini terungkap setelah polisi menggerebek sebuah gudang di Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang, Banten. Di sana ditemukan modus kotor: beras Bulog diputihkan, lalu dikemas ulang menggunakan merek Ramos dan label bantuan pangan dari Badan Pangan Nasional (Bapanas). Jaringan ini disebut telah beroperasi sejak 2019, dan mengantongi Rp732 juta hanya dalam kurun Desember 2023 hingga Maret 2024.

Kementerian Pertanian (Kementan) kemudian melakukan pengujian terhadap 268 sampel dari merek-merek tersebut, dilakukan pada 6–23 Juni 2025. Hasilnya mencengangkan:

  • 85,56% beras premium tidak sesuai dengan standar mutu.
  • 59,78% beras premium dijual melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET).
  • 21,66% memiliki berat bersih lebih ringan dari yang tercantum di kemasan.
  • 88,24% beras medium juga tidak memenuhi SNI mutu.
  • 95,12% beras medium melebihi HET.
  • 9,38% mengalami kekurangan berat dibanding label.

Ketimpangan HPP dan HET, Akar Masalah?

Menurut Khudori, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), akar masalahnya ada pada kebijakan harga pemerintah. Sejak urusan beras diambil alih oleh Bapanas pada 2023, terjadi kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) sebesar 47 persen, namun HET beras hanya naik 10-30 persen.

“Ketika HPP GKP naik menjadi Rp6.500 per kg, HET-nya tidak disesuaikan, tidak ada kenaikan. Padahal, kita semua tahu gabah kering panen itu bahan baku beras. Kalau bahan bakunya naik, berasnya mestinya naik,” kata Khudori, Senin (14/7).

Ia menyebut banyak penggilingan padi akhirnya tutup, dan produsen memilih jalan pintas dengan melakukan pengoplosan.

“Ini bisa disebut jadi sebuah kejahatan berjemaah. Penting buat pemerintah untuk itu introspeksi diri. Seperti ada hal-hal yang salah, itu yang harus diperiksa oleh pemerintah,” ujarnya.

Distribusi Bocor, Satgas Tidak Efektif?

Eliza Mardian, pengamat dari Center of Reform on Economics (Core), menyoroti lemahnya pengawasan distribusi beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan). Menurutnya, ada potensi kebocoran besar dalam distribusi dari gudang Bulog ke agen retail.

“Jadi banyak kebocorannya di situ, 80 persen bocor dan hanya 20 persen yang sampai ke penerima manfaat yang sesuai dengan kriteria,” ujarnya.

Ia juga menyebut pengawasan lemah, bahkan melibatkan beberapa perusahaan besar.

“Ditambah lagi pengawasannya lemah. Itu kan ada beberapa perusahaan besar yang diduga mengoplos,” katanya.

Eliza menilai Kementan tidak bisa bekerja sendiri, karena distribusi juga menjadi tanggung jawab Kementerian Perdagangan. Ia mendorong pembentukan satgas khusus mafia beras, yang lebih terfokus dan independen dibanding Satgas Pangan.

“Pemerintah harus ketat sih dari standardisasinya, dicek secara berkala ke pasar-pasar, aktif melakukan survei, verifikasi, diuji berasnya,” tambahnya.

Sistem Distribusi Bebas Jadi Masalah

Sementara itu, Edi Santosa, pengamat pertanian dari IPB, menyebut akar lain dari kekacauan ini adalah terlalu bebasnya perdagangan beras di Indonesia.

“Siapa pun bisa langsung membeli ke penggilingan,” ujarnya.

Bandingkan dengan negara lain, katanya, di mana pembeli hanya bisa mengakses beras lewat distributor resmi. Di Indonesia, nyaris tanpa regulasi ketat.

Edi menyarankan penerapan sistem traceability atau pelacakan digital terhadap rantai pasok beras.

“Traceability ini indikator negara maju dan sebenarnya tidak perlu anggaran besar. Pemerintah buat aturan saja agar produsen membangun sistemnya,” ucapnya. (woke7)

Bagikan Berita Ini