SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bisnis Sabu dari Balik Jeruji Lapas Pekanbaru: Luka Lama yang Kembali Terbuka

Peredaran narkoba menembus pengamanan jeruji pemasyarakatan

Oleh Ferdi Putra - Reporter
5 Menit Membaca
Napi insial HA yang terlibat dalam bisnis narkoba dari balik jeruji Lapas Kelas IIA Pekanbaru.Ditresnarkoba Polda Riau

PEKANBARU – Direktorat Reserse Narkoba Polda Riau kembali mengungkap praktik peredaran narkoba yang dikendalikan dari dalam penjara. Tiga narapidana Lapas Kelas IIA Pekanbaru berinisial AL, RD, dan HA, serta satu mantan narapidana berinisial BN, diamankan atas dugaan keterlibatan dalam sindikat sabu antarjaringan. Barang bukti berupa 215 gram sabu dan sejumlah ponsel disita dalam penggerebekan yang memperlihatkan bagaimana sistem pemasyarakatan bisa disusupi aktivitas kriminal.

Pengungkapan bermula dari penyelidikan pada Rabu malam (2/7), saat tim Subdit II Ditresnarkoba Polda Riau menerima informasi tentang seseorang yang membawa sabu di kawasan Jalan Paus, Marpoyan Damai, Pekanbaru. Keesokan harinya, Kamis (3/7), tim menangkap BN, residivis asal Kampar, yang kedapatan menyembunyikan 215 gram sabu di dalam laci sepeda motornya.

Perintah dari Balik Sel

Dari hasil interogasi, BN mengaku hanya menjadi kurir. Ia diperintahkan oleh AL, napi di Lapas Pekanbaru, untuk mengembalikan sabu kepada napi HA. Sabu tersebut merupakan sisa dari pesanan 500 gram yang awalnya diminta oleh RD, juga seorang napi, namun tidak habis terjual.

Artinya, kendali penuh atas peredaran ini dilakukan dari balik jeruji besi. Para napi tidak hanya menjadi pengguna, tapi juga operator distribusi, pengendali jaringan, hingga pengatur logistik.

Bukan Kasus Pertama

Kasus serupa bukanlah hal baru di Riau. Tahun 2023, Polda Riau membongkar sindikat narkoba yang dikendalikan dari Lapas Bengkalis, dengan barang bukti mencapai 22 kilogram sabu. Bahkan pada awal 2024, jaringan antarprovinsi juga terbongkar dengan tersangka utama yang merupakan warga binaan.

Fenomena ini menunjukkan pola yang berulang. Narapidana mengendalikan bisnis narkoba dari dalam penjara, memanfaatkan kelemahan pengawasan, kepadatan penghuni, serta minimnya deteksi terhadap peredaran komunikasi ilegal seperti ponsel.

Overkapasitas Lapas jadi Akar Masalah Sistemik

Menurut data Kemenkumham, hingga 2024 Indonesia memiliki sekitar 270.000 penghuni lapas dan rutan, padahal kapasitas idealnya hanya sekitar 140.000. Lapas Kelas IIA Pekanbaru sendiri menampung lebih dari dua kali kapasitas normal. Sekitar 60–70% penghuninya adalah narapidana kasus narkoba.

Dari proporsi itu, sebagian besar bukanlah bandar atau pengedar besar, melainkan pengguna atau kurir kecil. Padahal, mereka inilah yang paling rentan direkrut kembali ke dalam jaringan saat berada di dalam penjara.

Ponsel dan Uang jadi Kunci Bisnis Gelap di Lapas

Penggunaan ponsel dalam lapas menjadi pintu utama masuknya aktivitas ilegal. Dalam kasus kali ini, penyelidikan dibantu oleh pihak Lapas Kelas IIA Pekanbaru yang menyita ponsel dari para napi terlibat. Dir Narkoba Polda Riau Kombes Pol Putu Yudha Prawira menegaskan, sinergi antarinstansi menjadi kunci untuk menutup celah ini.

“Ini menjadi peringatan keras. Dari hulu hingga hilir, tak boleh ada tempat nyaman bagi gembong narkoba, termasuk di dalam penjara,” tegasnya.

Namun dalam praktiknya, ponsel dan uang bisa masuk ke lapas lewat berbagai cara. Dari pengunjung, hingga dugaan keterlibatan oknum yang ‘bermain mata’. Hal inilah yang kerap sulit diberantas secara menyeluruh.

Pakar kriminologi dan aktivis antinarkoba menilai bahwa pendekatan represif semata tidak akan memutus rantai peredaran narkoba. Sebaliknya, kebijakan yang fokus pada rehabilitasi pengguna dan dekriminalisasi ringan bisa menurunkan jumlah penghuni lapas dan memutus siklus eksploitasi pengguna oleh bandar.

Revisi UU Narkotika dan KUHP yang akan berlaku pada 2026 diharapkan bisa mendorong penggunaan keadilan restoratif — di mana pengguna bisa diarahkan ke rehabilitasi, bukan penjara.

Jangan Biarkan Jeruji Jadi Ilusi

Kisah AL, RD, HA, dan BN bukan semata kisah kriminal. Ia adalah cermin rusaknya sistem pemasyarakatan kita. Jika napi bisa memesan, mengatur, dan mengembalikan sabu dari balik jeruji, maka pertanyaan paling penting bukan hanya soal siapa pelakunya, tetapi kenapa sistemnya masih membiarkan hal ini terjadi.

Tanpa perbaikan dari akar, termasuk pada sistem hukum, kapasitas lapas, teknologi pengawasan, dan pendekatan hukum terhadap pengguna, maka drama seperti ini hanya akan terus berulang — dengan aktor berbeda dan panggung yang sama. (woke9)

Bagikan Berita Ini