Home / Advertorial / Banyaknya Jual Jabatan di Intansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Bagaimana Mau Maju Indonesia?

Banyaknya Jual Jabatan di Intansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Bagaimana Mau Maju Indonesia?

Praktik jual beli jabatan adalah salah satu permasalahan yang sudah lama menghantui dunia birokrasi di Indonesia. Sayangnya, Praktik jual beli jabatan masih menjadi masalah yang sangat serius di Indonesia. Praktik ini telah terjadi selama bertahun-tahun dan masih terus terjadi di berbagai instansi pemerintah di Indonesia. Meskipun praktik ini ilegal dan dilarang oleh hukum, namun kenyataannya masih terjadi di beberapa tempat.

Meskipun praktik ini sudah dilarang dan dianggap sebagai tindakan ilegal, namun kenyataannya masih terjadi di berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah. Dampak dari praktik jual beli jabatan sangat merugikan bagi negara dan masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya yang serius untuk memberantas praktik ini agar Indonesia dapat maju dan berkembang dengan baik.

Praktik jual beli jabatan telah merugikan negara dan masyarakat Indonesia secara signifikan. Hal ini karena pejabat yang dipilih tidak didasarkan pada kompetensi dan kualitas, melainkan pada uang. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memberantas praktik jual beli jabatan agar Indonesia dapat maju dan berkembang dengan baik.

Pasal-pasal dan sanksi terkait jual beli jabatan diatur dalam beberapa undang-undang di Indonesia, antara lain: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 12C ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengatur tentang tindak pidana suap, termasuk suap dalam pengangkatan atau penunjukan jabatan. Sementara itu, Pasal 12C ayat (2) UU Tipikor mengatur tentang tindak pidana penerimaan suap.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 87 UU ASN mengatur tentang penerimaan ASN yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 22 ayat (1) UU Pelayanan Publik mengatur tentang pemberian sanksi administratif bagi penyelenggara pelayanan publik yang melakukan praktik jual beli jabatan.

Sanksi bagi pelaku jual beli jabatan antara lain meliputi: Pidana Penjara Pasal 12C UU Tipikor mengatur bahwa pelaku jual beli jabatan dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.

Pemecatan atau Pemberhentian Tidak Hormat dari Jabatan

Pelaku jual beli jabatan dapat dijatuhi sanksi pemecatan atau pemberhentian tidak hormat dari jabatan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sesuai dengan Pasal 87 UU ASN.

Sanksi Administratif

Penyelenggara pelayanan publik yang melakukan praktik jual beli jabatan dapat dikenakan sanksi administratif, seperti teguran, peringatan, penundaan kenaikan pangkat, dan bahkan pemecatan. Hal ini sesuai dengan Pasal 22 ayat (1) UU Pelayanan Publik.

Sanksi bagi pelaku jual beli jabatan harus diberikan secara tegas dan tuntas, agar dapat memberikan efek jera bagi pelaku lainnya. Selain itu, perlu pula kerjasama yang baik antara lembaga penegak hukum dan lembaga pengawas, seperti KPK dan Ombudsman, dalam memberantas praktik jual beli jabatan di Indonesia.

Dalam opini ini, kita akan membahas dampak buruk praktik jual beli jabatan di Indonesia dan contoh praktik ini yang terjadi di berbagai instansi pemerintah. Praktik jual beli jabatan memiliki dampak buruk yang sangat serius bagi negara dan masyarakat.

Beberapa dampak buruk yang terjadi akibat praktik ini antara lain sebagai berikut

Menghambat Pembangunan

Praktik jual beli jabatan dapat menghambat pembangunan karena orang yang mendapatkan jabatan melalui cara yang tidak sah mungkin tidak memiliki kualifikasi yang memadai untuk menyelesaikan tugas yang ada di dalam jabatan tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan penundaan atau bahkan kegagalan dalam penyelenggaraan program dan proyek pembangunan. Oleh karena itu, praktik jual beli jabatan perlu dihentikan agar pembangunan dapat berjalan lancar dan berhasil.

Menimbulkan Korupsi

Praktik jual beli jabatan juga dapat menimbulkan korupsi di dalam pemerintahan. Orang yang membeli jabatan mungkin akan memanfaatkan jabatannya untuk mencari keuntungan dan mengambil keputusan yang merugikan negara dan masyarakat. Hal ini akan mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat, baik dalam bentuk materiil maupun immateriil.

Merusak Tata Kelola Pemerintahan

Praktik jual beli jabatan dapat merusak tata kelola pemerintahan karena orang yang dipilih untuk mengisi jabatan tersebut tidak didasarkan pada kualifikasi dan kompetensi, melainkan pada uang. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakmampuan untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab yang ada di dalam jabatan tersebut. Oleh karena itu, praktik jual beli jabatan harus dihentikan agar tata kelola pemerintahan dapat berjalan dengan baik dan efektif.

Menimbulkan Ketidakpercayaan

Masyarakat terhadap Pemerintah
Praktik jual beli jabatan juga dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Ketika masyarakat mengetahui bahwa pejabat di pemerintahan dipilih bukan berdasarkan kualifikasi dan kompetensi, melainkan pada uang, maka akan menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.

Hal ini dapat memicu protes dan kecaman dari masyarakat, yang pada gilirannya dapat mengganggu stabilitas politik dan sosial di Indonesia. Praktik jual beli jabatan tidak hanya terjadi di satu daerah atau instansi pemerintah, tetapi sudah terjadi di berbagai wilayah dan level pemerintahan.

Berikut adalah beberapa contoh praktik jual beli jabatan di Indonesia yang terjadi di pemerintah pusat dan pemerintah daerah

Kasus Jual Beli Jabatan di Kabupaten Bangkalan

Pada tahun 2018, terjadi kasus jual beli jabatan di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Dalam kasus ini, oknum pegawai di Dinas Pendidikan Kabupaten Bangkalan diduga menjual jabatan kepala sekolah di beberapa sekolah di wilayah tersebut. Oknum tersebut meminta sejumlah uang kepada calon kepala sekolah untuk dapat memperoleh jabatan tersebut. Kepolisian setempat kemudian berhasil menangkap pelaku dan mengungkap praktik jual beli jabatan yang terjadi di daerah tersebut.

Kasus Jual Beli Jabatan di Kementerian Agama

Pada tahun 2020, Kementerian Agama mengungkap kasus jual beli jabatan di lingkup instansi tersebut. Dalam kasus ini, sejumlah pejabat di Kementerian Agama diduga menerima suap dari calon pejabat untuk dapat memperoleh jabatan tertentu. Pejabat yang diduga terlibat dalam praktik jual beli jabatan tersebut kemudian ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dijerat dengan tuduhan tindak pidana korupsi.

Kasus Jual Beli Jabatan di Provinsi Sulawesi Selatan

Pada tahun 2021, terjadi kasus jual beli jabatan di Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam kasus ini, sejumlah pejabat di lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan diduga menjual jabatan di beberapa instansi pemerintah di wilayah tersebut. Oknum tersebut meminta sejumlah uang kepada calon pejabat untuk dapat memperoleh jabatan tersebut. Kasus ini kemudian diungkap oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan mendapat perhatian dari masyarakat luas.

Kasus Jual Beli Jabatan di Provinsi Jawa Timur

Pada tahun 2021, terjadi kasus jual beli jabatan di Provinsi Jawa Timur. Dalam kasus ini, seorang kepala dinas di salah satu kabupaten di Jawa Timur diduga menjual jabatan di lingkup instansi tersebut. Kepala dinas tersebut meminta sejumlah uang kepada calon pejabat untuk dapat memperoleh jabatan tersebut. Kasus ini kemudian diungkap oleh Kejaksaan Negeri setempat dan menimbulkan kecaman dari masyarakat.

Dari contoh kasus di atas, dapat dilihat bahwa praktik jual beli jabatan masih terjadi di berbagai wilayah dan level pemerintahan di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk memberantas praktik ini masih belum berhasil dengan maksimal. Perlu dilakukan tindakan yang lebih serius dan tegas untuk memberantas praktik jual beli jabatan agar Indonesia dapat maju dan berkembang dengan baik.

Oleh karena itu, diperlukan solusi yang tepat dan terintegrasi untuk memberantas praktik ini. Berikut adalah beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah jual beli jabatan di Indonesia:

Peningkatan Sistem Seleksi Jabatan
Sistem seleksi jabatan yang transparan dan objektif dapat mengurangi praktik jual beli jabatan.

Hal ini dapat dilakukan dengan memperketat proses seleksi, termasuk uji kompetensi dan uji integritas. Dalam hal ini, pemerintah dapat melibatkan pihak independen dalam proses seleksi seperti lembaga pemeriksa independen, seperti KPK atau Ombudsman, yang memastikan proses seleksi dilakukan secara objektif dan tidak adanya intervensi dari oknum yang tidak bertanggung jawab.

Pembentukan Unit Pengawas Internal

Pemerintah dapat membentuk unit pengawas internal yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan proses seleksi, promosi, dan mutasi pegawai. Unit pengawas internal dapat menjamin transparansi dan objektivitas proses seleksi, dan memberikan sanksi tegas bagi oknum yang melakukan tindakan korupsi atau jual beli jabatan.

Pemberian Sanksi Tegas

Pemerintah harus memberikan sanksi tegas bagi oknum yang melakukan tindakan korupsi atau jual beli jabatan. Sanksi tersebut dapat berupa pemecatan dari jabatan, tindakan hukum, dan sanksi administratif lainnya. Pemberian sanksi yang tegas dapat menjadi efek jera bagi oknum lainnya yang cenderung melakukan tindakan korupsi.

Pendidikan Anti-Korupsi

Pendidikan anti-korupsi dapat dilakukan dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Pendidikan anti-korupsi tidak hanya sekedar menyampaikan nilai-nilai moral, tetapi juga memberikan pemahaman yang lebih baik tentang korupsi dan dampaknya bagi masyarakat. Selain itu, pendidikan anti-korupsi dapat menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk berperan aktif dalam mencegah praktik jual beli jabatan.

Perkuat Kelembagaan Pengawasan
Kelembagaan pengawasan yang kuat dapat membantu mengatasi praktik jual beli jabatan. Selain KPK, perkuat kelembagaan seperti Ombudsman dan lembaga audit negara juga dapat memberikan pengawasan dan memantau pelaksanaan proses seleksi, promosi, dan mutasi pegawai secara objektif dan independen.

Pembentukan Tim Independen untuk Memeriksa Laporan Kekayaan Pejabat
Solusi ketiga adalah dengan membentuk tim independen untuk memeriksa laporan kekayaan pejabat publik. Tim independen ini bertugas untuk melakukan pemeriksaan secara teratur terhadap laporan kekayaan pejabat publik, khususnya yang berada di posisi strategis atau memiliki pengaruh besar dalam kebijakan publik. Dalam hal ini, tim independen harus bekerja secara profesional dan independen, tanpa ada tekanan dari pihak manapun.

Penulis: Disman Bima Jaya Sianturi
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lancang Kuning Pekanbaru

Tag: