Home / Nasional / Pemerintah harus hadir dalam memberikan kepastian perlindungan hak buruh selama Pandemi COVID-19

Pemerintah harus hadir dalam memberikan kepastian perlindungan hak buruh selama Pandemi COVID-19

Wartaoke.net, – Salah satu aktifis buruh di riau yang merupakan ketua DPC NIKUEBA KSBSI sdr Novem Santoso mengatakan Virus Covid -19 diketahui mulai masuk di Negara Indonesia sejak awal Maret 2020 ditandai dengan adanya 2 pasien yang dinyatakan Positif Covid- 19, dan hingga saat ini ternyata penyebarannya semakin besar dan juga masih belum membaik.

Pada tanggal 13 April 2020 presiden juga telah mengeluarkan Keppres No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam yang menyatakan bahwa Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional dan dalam rangka pencegahan Penyeberan Virus Covid 19 beberapa daerah Propinsi, Kota/kabupaten telah merapkan pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar),
Virus Covid 19 ternyata sangat berdampak bagi kondisi perekonomian dan kondisi hubungan Industrial di berbagai negara termasuk di Negara Indonesia yang mana hal ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang diambil Pemerintah dalam rangka penanganan dan pencegahan penyebaran dan dampak Virus Covid-19

Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah tentunya berdapak juga bagi para pelaku bubungan industrial baik itu pengusaha dan pekerja, beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah telah memaksa para pelaku industri ataupun pengusaha mengambil berbagai macam langkah dan kebijakan dalam hubungan Industrial seperti pemberlakuan work from home, merumahkan pekerja hingga melakukan pemutusan hubungan kerja dan tentu berdampak pada pada hak-hak pekerja sebagai akibat dari kebijakan Pengusaha berdasarkan anjuran pemerintah.
Beberapa tindakan yang diambil pengusaha berdampak terhadap hak-hak pekerja baik itu upah, jaminan sosial dan hak atas pemutusan hubungan kerja

1.Perubahan Pembayaran Upah

Banyak pengusaha yang melakukan perubahan terhadap pembayaran upah buruh/pekerja saat situasi Wabah Covid 19 ini, diantaranya menghilangkan tunjangan tidak tetap, menghilangkan tunjangan tetap, memotong upah pokok, atau bahkan membayar upah dibawah dari ketentuan Upah Minimum Pripinsi, Kota/Kabupaten atau Upah Minimum Sektor Pekrerjaan, dalam bebrapa kasus adanya juga yang memberlakukan system no work no pay.

Bagi mereka yang melakukan WFH mungkin memotong tunjangan tidak tetap adalah hal yang bisa diterima, misalkan uang transportasi atau tunjangan tidak tetap lainnnya, namun permasalahannya akan menjadi beda bagi mereka yang dirumahkan, beberapa Perusahaan menerapkan system no work no pay bagi mereka yag dirumahkan.

Ketentuan no work no pay memang diatur dalam Pasal 93 ayat (1) UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan Pasal 24 ayat (1) PP No. 78 tahun 2015 tentang pengupahan yang menyatakan bahwa upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan, sehingga penerapan no work no pay pada dasarnya adalah diizinkan oleh undang undang, namun perlu diingat pada Pasal 93 ayat (2) huruf (c) UU No 13 Tahun 2003 dan pasal 24 ayat (3) huruf (a) PP 78 Tahun 2015 juga dinyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan Pasal 24 ayat (1) PP No. 78 tahun 2015 tentang pengupahan tidak berlaku apabila pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara dan pengusaha wajib membayar upah;

Hal tersebut diatas menjadi perdebatan apakah situasi saat ini dimana banyak pekerja dirumahkan termasuk dalam kategori menjalankan kewajiban terhadap negara dan untuk menjawab hal tersebut maka kita harus mengacu kepada ketentuan yang diatur konstitusi tentang kewajiban warga negaranya, adapun kewajiban tersebut dapat kita lihat dan uraikan yang dimana diantaranya adalah sebagai berikut:

Kewajiban untuk menaati hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
Kewajiban untuk ikut serta dalam upaya pembelaan Negara sebagaimana Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”.
Kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain sebagiamana dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945
Kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang sebagaimana dalam Pasal 28J ayat 2
Mengacu kepada ketentuan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa pekerja yang dirumahkan akibat dari kebijakan pemerintah yang melakukan pembatasan sosial dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 adalah dalam rangka menjalankan kewajibannya mematuhi aturan yang ditetapkan pemerintah sehingga buruh/pekerja haruslah mendapatkan upahnya;

Selanjutnya berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No M/3/Hk.04/III/2020 tentang perlindungan Pekerja/Buruh dan kelangsungan Usaha dalam rangka Pencegahan Penanggulangan Covid-19 tertanggal 17 Maret 2020 yang dimana pada Romawi II angka 4 disebutkan bahwa perubahan besaran maupun pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh, dan hal ini sangat rawan untuk diartikan bahwa Pengusaha dapat membayar upah pekerja dibawah dari ketentuan apabila memperoleh kesepakatan, smentara melihat faktanya bahwa posisi tawar pekerja selalu berada dibawah dan kesepakatan antara pekerja dan pengusaha sangat rawan cacat kehendak karena posisi pekerja yang tidak memiliki daya tawar yang kuat terkhusus bagi mereka yang tidak bergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh,

Pada saat ini seharusnya pemerintah dapat melindungi hak-hak pekerja dengan memberikan kepastian atas standar upah yang dapat diterapkan selama masa Pandemi covid 19 bukan malah melepaskan tanggung jawab yang terkesan akan mengadu domba pekerja dan pengusaha akibat tidak tercapainya kesepakatan.

Pada prinsipnya bahwa Surat Edaran Menteri yang dikeluarkan tersebut hanyalah bersifat himbauan dan tidak membatalkan ketentuan peraturan Perundang-undangan maupun Peraturan Pemerintah yang berlaku, namun mengingat bahwa memang kemampuan financial setiap perusahaan berbeda-beda maka salah satu solusi yang sebenarnya dapat di sarankan adalah mengajukan Penangguhan pembayaran upah sebagaimana diatur dalam pasal 90 ayat (2) UU No 13 tentang Ketenagakerjaan Juncto keputusan Menteri Tenaga Kerja Menteri Transmigrasi dan tenaga kerja Nomor KEP -231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum yang selanjutnya upah akan dibayarkan ketika Bencana Non Alam wabah Covid 19 ini berakhir.

2. Permasalahan Jaminan Sosial

Dalam beberapa kasus banyak pengusaha yang kemudian tidak membayarkan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan pekerjanya dengan alasan bahwa pekerja sedang dirumahkan sehingga tidak akan mungkin terjadi kecelakaan kerja dan beberapa perusahaan menganggap ketika pembayaran iuran ketenagakerjaan dihentikan maka Pekerja dapat mencairkan saldo Jaminan Hari Tua para pekerja namun hal ini tentu akan merugikan pekerja karena kehilangan jaminan sosial mereka dan ini sangat rawan disalah artikan bahwa kemudian pekerja dianggap telah menerima Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan Perusahaan mengingat pekerja juga harus meminta Parklaring ketika ingin mencairkan dana saldo jaminan hari tuanya.

3. Permasalahan Pemutusan Hubungan Kerja

Wabah Covid 19 yang diduga akan berlangsung lama hingga beberapa bulan kedepan tentunya akan menimbulan banyak pekerja yang mejadi korban PHK dimana pertanggal 20 April telah terdapat 2.084.593 pekerja yang di PHK sebagaimana data kemenaker yang dimuat dihalaman media Kompas pada 23 April 2020.

Jika mengacu pada ketentuan Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan pada dasarnya pengusaha diberikan ruang untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja karena keadaan memaksa atau (force majeure) dimana Pemutusan Hubungan Kerja tersebut pada dasarnya haruslah merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, dalam hal ini seyogyanya juga pemerintah juga harus turut campur tangan untuk memastikan bahwa pemutusan hubungan kerja tersebut haruslah benar-benar sesuatu yang tidak dapat dihindari dan apabila harus dilakukan maka pemerintah juga harus terlibat dalam memberikan kepastian terhadap pemenuhan hak-hak kompensasi yang seharusnya diterima oleh pekerja akibat pemutusan hubungan kerja tersebut, pemerintah tidak boleh cukup hanya sebagai lembaga survey yang hanya mampu menghitung jumlah korban pemutusan hubungan kerja.

Berkaca dari situasi saat ini dan terlepas dari permasalahan tersebut diatas perlu kiranya kedepan agar Pemerintah bersama-sama Pengusaha dan Pekerja untuk merancang suatu Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang dapat menjadi solusi terhadap situasi kebencanaan baik bencana alam maupun bencana nonalam seperti saat ini, sehingga kita dapat terhidar dari situasi ketidaksiapan seperti saat ini.