Wartaoke.net, Jakarta- Koordinator Bidang Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengusulkan kenaikan iuran kepesertaan jaminan kesehatan untuk anggota mandiri atau peserta pekerja bukan penerima upah maksimal Rp 5.000 per orang. Kenaikan itu disesuaikan dengan kemampuan fiskal masyarakat.
“Kenaikan Rp 4.000 sampai Rp 5.000 itu berlaku untuk kelas II,” ujar Timboel saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (31/7/2019).
Dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2016, pembayaran iuran untuk peserta mandiri atau peserta pekerja bukan penerima upah kelas II saat ini dipatok Rp 51 ribu. Dengan kenaikan Rp 4.000-5.000, berarti besaran iuran BPJS Kesehatan menjadi Rp 55-56 ribu.
Angka itu diakui masih di bawah besaran yang ditetapkan aktuaris. Semestinya, sesuai dengan aktuaria, besaran iuran kelas II adalah Rp 63 ribu.
Sementara itu, untuk kelas III, Timboel menyorongkan angka kenaikan sebesar Rp 1.500 hingga Rp 2.000. Bila sebelumnya iuran dipatok Rp 25.500, ke depan ia mengusulkan besaran kewajiban yang mesti dibayar masyarakat ialah Rp 27 ribu hingga Rp 27.500. Angka ini juga masih di bawah hitungan aktuaris.
Timbul mengatakan, sesuai aktuaria, iuran untuk kelas III semestinya Rp 30 ribu. Timboel menyebut kenaikan iuran tak perlu diterapkan untuk kelas I.
Sebab, saat ini, besaran kewajiban pembayaran kelas I telah sesuai dengan aktuaria, yakni Rp 80 ribu per orang per bulan. Selain itu, Timboel menyarankan BPJS Kesehatan mengoptimalkan potensi dari peserta pekerja penerima upah.
“Kita akan dorong batas atas untuk iuran PPU dinaikin. Sekarang kan batas atasnya Rp 8 juta, akan kita dorong jadi Rp 12 juta,” ujarnya.
Pemerintah sebelumnya telah menyepakati kenaikan premi iuran BPJS Kesehatan. Dalam rapat di Istana Negara pada Selasa, 30 Juli 2019, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan kebijakan ini berkaitan dengan upaya pemerintah menekan angka defisit BPJS kesehatan yang terjadi beberapa tahun belakangan.
Pemerintah memprediksi, hingga akhir 2019, BPJS Kesehatan berpotensi menanggung defisit Rp 28 triliun.
Dihapus
Sebanyak 5.227.852 jiwa Penerima Bantuan Iuran (PBI) jaminan kesehatan akan segera dinonaktifkan per Agustus 2019 mendatang.
Hal ini merujuk pada Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 79 Tahun 2019 tentang Penonaktifan dan Perubahan Data Peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Tahun 2019 tahap Keenam. Artinya peserta tersebut tidak bisa lagi mengakses layanan BPJS Kesehatan.
“Jadi dari 5,2 juta itu 5.113.842 itu ditemukan memiliki status NIK (Nomor Induk Kependudukan) tidak jelas dan yang bersangkutan tidak pernah mengakses faskes. Kemudian 114.010 peserta PBI jamkes (jaminan kesehatan) ditemukan telah meninggal, memiliki data ganda, dan mampu atau berpindah ke segman lain,” kata Staf Khusus Menteri Sosial Febri Hendri, Rabu (31/7/2019).
Febri menjelaskan bahwa jumlah PBI yang dinonaktifkan nantinya akan kembali diisi peserta dengan jumlah sama yang berada dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial berdasarkan Desil 1 (rumah tangga/individu dengan kondisi kesejahteraan sampai dengan 10 persen terendah di Indonesia), dan Desil 2 (rumah tangga/individu dengan kondisi kesejahteraan antara 11-20 persen terendah di Indonesia).
Rencana pemerintah untuk menonaktifkan 5.227.852 jiwa PBI dikritik sejumlah pihak. Salah satunya datang dari Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi.
“Saya lihat spirit-nya bagus, agar penerima subsidi lebih tepat sasaran dan diberikan ke warga yang lebih berhak. Tapi hal ini saya rasa juga harus dikritik,” ucap Tulus.
Menurutnya, kebijakan penonaktifan PBI ini terkesan terlalu terburu-buru. Sedangkan di sisi lain, lanjut Tulus, sosialiasasi terhadap masyarakat sendiri masih minim. Ia menilai, penerapan kebijakan ini seharusnya dilakukan sejak jauh-jauh hari. (Lis)